Optekno – OTT Asing, Kenapa Kita Perlu Aturan Main yang Jelas? APJII Angkat Bicara
Pernah nggak sih kamu ngerasa ada yang nggak adil? Kayak lagi main game, eh, lawannya curang? Nah, kurang lebih gitu deh gambaran soal layanan over-the-top (OTT) asing di Indonesia. Mereka kayak numpang lewat, dapet untung gede, tapi kontribusinya… ya gitu deh. Makanya, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) angkat bicara soal ini. Mereka pengen aturan main yang jelas buat OTT asing biar nggak timpang sebelah. Seriusan, ini penting banget buat masa depan internet kita.
Penetrasi Internet Tinggi, Keuntungan Lebih Banyak Dinikmati OTT Asing
Bayangin deh, hampir semua orang di Indonesia udah punya akses internet. Data APJII tahun 2024 nunjukkin penetrasi internet udah nyampe 79,50%! Gokil, kan? Tapi, ironisnya, yang paling banyak kecipratan untung dari ini justru OTT asing. Jujur aja, aku juga sempat mikir, “Ini kok bisa gini, ya?” Kita bangun infrastruktur, mereka yang panen. Kan nggak lucu.
Mereka ini, guys, kayak Netflix, Spotify, YouTube, dan sejuta aplikasi lainnya yang kita pakai sehari-hari. Emang sih bikin hidup lebih berwarna, tapi kalo nggak diatur, bisa-bisa kita cuma jadi penonton di rumah sendiri.
Regulasi yang Lemah Memicu Permasalahan
Kenapa bisa begitu? Ya, karena regulasi kita masih lemah banget soal industri digital ini. Ini kata Sekjen APJII, Zulfadly Syam, lho. “Lemahnya regulasi ini menimbulkan permasalahan baru yang hingga kini belum diantisipasi secara efektif oleh pemerintah,” katanya. Artinya, ada celah yang dimanfaatin sama OTT asing buat ngembangin sayapnya di sini.
Masalahnya, regulasi yang longgar ini bikin mereka seenaknya sendiri. Ibaratnya, kayak dikasih hati minta jantung. Udah dikasih kesempatan masuk pasar Indonesia, eh, malah nggak mau patuh sama aturan yang ada.
Kontribusi OTT Asing Dipertanyakan
Yang bikin gregetan lagi, banyak OTT asing yang meraup untung gede di Indonesia, tapi kontribusinya minim. Mereka cuma daftar sebagai penyelenggara sistem elektronik, tapi kewajiban pajaknya nggak jelas. “OTT ini hanya satu lapisan di atas arsitektur digital,” kata Pak Zulfadly. “Mereka hanya lewat, menggunakan infrastruktur tanpa memberikan kontribusi balik.”
Rasanya kayak nungguin mie instan mateng padahal cuma 3 menit. Kita udah invest banyak buat internet, eh, mereka yang nikmatin hasilnya. Adilkah? Itu pertanyaan yang terus menggelayuti benakku.
APJII Khawatirkan Peran Operator Internet yang Terbatas
Nah, ini nih yang paling dikhawatirkan APJII. Mereka takut operator internet di Indonesia cuma jadi penyedia jaringan doang buat OTT asing. Padahal, sumber daya kita kayak frekuensi dan bandwidth itu terbatas banget. Sementara, trafik data dari OTT terus melonjak tinggi.
Kalo gini terus, kita cuma jadi tukang ngasih jalan tol buat mereka. Padahal, jalan tol itu kita yang bangun pake duit sendiri. Nggak kebayang deh kalo semua operator internet kita bangkrut cuma gara-gara nggak bisa bersaing. Bisa-bisa kita balik lagi ke zaman dial-up. Amit-amit!
Indonesia Tak Punya Daya Tawar Kuat Terhadap OTT Asing
Sayangnya, kita nggak punya daya tawar yang kuat buat negosiasi sama OTT asing. Beda banget sama Tiongkok yang bisa maksa mereka patuh sama aturan yang ada. Di sana, OTT asing nggak bisa seenaknya sendiri. Mereka harus nurut sama regulasi lokal.
Kenapa kita nggak bisa kayak gitu? Ya, karena kita nggak punya konten substitusi yang kuat. Kita cuma bisa teriak-teriak minta mereka bayar pajak, tapi nggak punya kartu as buat naklukkin mereka. Gue juga pernah nyoba bikin konten sendiri, hasilnya? Bikin ngakak sendiri. Nggak level lah kalo dibandingin sama buatan mereka.
Tata Ulang Regulasi OTT Asing Mendesak Dilakukan
Makanya, APJII mendesak pemerintah buat segera nata ulang regulasi telekomunikasi di Indonesia. Pemerintah punya tanggung jawab buat benahin infrastruktur internet secara menyeluruh. Kalo nggak, ya gitu deh, kita terus jadi penonton.
“Jangan lagi ada jargon ‘seleksi alam’, di mana yang kuat akan berkembang dan yang lemah akan tumbang,” kata Pak Zulfadly. “Kondisi yang kondusif harus diciptakan oleh pemerintah. Telekomunikasi adalah sektor strategis yang wajib dijaga pemerintah demi kepentingan nasional.”
Intinya sih, kita butuh aturan yang jelas, adil, dan bisa bikin OTT asing berkontribusi lebih banyak buat negara kita. Jangan sampe kita cuma jadi pasar doang buat mereka.
Anggota APJII Merasa Terhimpit
Yang ngerasain dampaknya langsung ya anggota APJII. Mereka dituntut buat nyediain akses internet yang berkualitas tinggi biar pelanggan bisa nikmatin layanan OTT asing. Akibatnya, mereka harus terus investasi buat nambah frekuensi dan bandwidth. Padahal, biaya investasinya nggak murah, guys.
Di sisi lain, masyarakat pengen harga internet yang semakin murah. Sementara, akses ke OTT asing butuh bandwidth internasional yang gede, yang tentu aja butuh biaya tambahan. Kan serba salah jadinya. Kayak buah simalakama.
“Anggota APJII berada dalam posisi sulit karena dituntut untuk menyediakan akses berkualitas tinggi ke OTT asing jika tidak ingin ditinggalkan pelanggan,” pungkas Pak Zulfadly. “Kami terus berupaya memberikan layanan terbaik untuk akses ke OTT asing, namun kontribusi dari mereka sangat minim. Inilah ketidakadilan yang dirasakan oleh anggota APJII.”
Jadi, gimana menurutmu? Setuju nggak kalo kita butuh aturan main yang lebih jelas buat OTT asing? Kalo aku sih jelas setuju banget. Masa iya kita terus-terusan jadi penonton di negara sendiri? Yuk, kita kawal isu ini bareng-bareng biar pemerintah nggak cuma diem aja. Siapa tau dengan aturan yang jelas, internet di Indonesia jadi makin maju dan bermanfaat buat semua. Share pendapatmu di kolom komentar ya! ***